Pagi ini, sebelum pelajaran dimulai, aku sengaja menyampaikan sesuatu kepada anak-anak. Sesuatu yang remeh namun sangat penting untuk diketahui. Sesuatu yang kecil tapi seringkali tak disadari. Pelajaran ini baru saja kuadopsi kemarin, dan aku pikir, anak-anak harus megetahuinya.
Aku diam duduk di depan anakku, siswa-siswi kelas 3A. Kuperhatikan mereka masih asik mengobrol ria dengan teman sebangkunya. Aku tak marah, kubiarkan mereka menyadari sendiri bahwa ada guru di hadapan mereka.
“Bu Guru mau cerita, tapi kalau kalian masih mengobrol, Bu Guru nggak akan mulai,” kuperhatikan mereka satu persatu. Suasana kelas berangsur hening.
Aku mulai cerita, sengaja suara tak kukeraskan. Biar mereka belajar merekam sendiri apa yang seharusnya mereka dengar. Tak perlu dipaksa dengan berteriak bahwa aku harus didengarkan.
Ceritaku mengalir. Sebuah fakta yang kuramu menjadi fiksi. Sebut saja kisah inspiratif. Pelan namun pasti, kurangkai ceritaku entah berakhir di mana. Sesekali kuperhatikan wajah serius mereka, namun, banyak pula yang asik dengan dunianya sendiri. Biarlah, aku tak ingin marah. Biar mereka mendengarkanku dengan caranya. Kusampaikan tentang betapa dahsyat ucapan orangtua, ucapan yang menjelma sebuah doa. Ucapan yang mengantarkan kesuksesan atau malapetaka bagi anak-anaknya.
Kisahku berakhir di sebuah alam berbeda. Alam kubur dari seorang anak berbakti namun pernah membuat orang tuanya sakit hati. Baktinya sia, doa orang tuanya terbawa sampai ia tiada. Namun, kuakhiri cerita ini, dengan sebuah kesimpulan sederhana. Sang anak tetap masuk surga, karena maaf dari orang tuanya.
|
“Jadi, Nak ... jangan sampai buat ayah ibu marah, ya! Kalau mereka marah, jangan lupa minta maaf. Terus ... bilang ya sama ayah ibu di rumah,
‘Ayah ... ibu ... kalau marah, jangan bilang macem-macem, ya. Soalnya, kata Bu Guru, ucapan orangtua itu jadi doa. Aku takut kalau ayah ibu marah, nanti marahin aku pakai kata-kata, terus dikabulin sama Allah’ “
Kutatap wajah mereka satu persatu. Inilah yang ingin ibu sampaikan, Nak. Semoga dengan ini orang tua mereka lebih berhati-hati ketika berbicara, apalagi ketika marah. Allah mendengarnya, sungguh, Dia mendengarnya. Aku diam, sementara anak-anak masih asik dengan dunianya. Aku tersenyum, lucu juga kalau ternyata ceritaku menjadi angin lalu bagi mereka, sudahlah, namanya anak-anak.
Jam menunjukkan pukul 07.30 WIB. Materi pelajaran Al Quran. Sambil mengantri setoran hafalan, anak-anak berinisiatif menulis diary.
“Bu, boleh nggak Aku nulis diary?” aku senyum. Ternyata sudah beberapa hari ini aku lupa menyuruh mereka menulis diary.
“Iya, boleh.” Beberapa anak mengambil buku diary di lokernya. Sementara aku sibuk dengan menyimak hafalan satu dari mereka.
Selang beberapa menit, Najwa menyerahkan isi diarynya padaku,
“Bu, udah.”
Aku masih menyimak, fokus ke penyetor hafalan. Sementara jariku merespon mengambil diary Najwa. Kulirik sebentar isi diarynya, ada yang membuatku terpana, kubaca lagi isinya, aku senyum,
terima kasih, Allah ..., mereka merekamnya. Bukan hanya isinya yang membuatku haru, tapi bahasa pena juga tanda bacanya. Terima kasih, Nak, kamu merekamnya dengan sangat baik.
|
Diary Najwa, Siswi Kelas 3 A SDIT Al Fatah Bekasi Timur |
Jum'at, 1 November 2011
Dear diary, tadi bu Vita cerita tentang anak yang berbakti kepada orang tua. Mulai hari ini aku ingin lebih berbakti kepada orang tua dan tidak durhaka kepada orang tua.
Cerita tadi sangat menyedihkan. Ternyata doa orang tua akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Motto: Jangan durhaka kepada orang tua.
“Bagus banget isinya. Kapital titiknya juga betul,” aku senyum, “Nanti ayah bunda baca, ya! Sini Bu Guru foto dulu.” Najwa, tersipu. Ah, wajah polos itu. Wajah yang kelak akan menarik tangan kita ke surga. Bunda, inilah wujud nyata dari doa-doamu ...
Terima kasih, Bunda ... untuk selalu berkata baik bagaimanapun keadaannya.
Gedung Ilmu, 10:11 WIB
Selasa, 12 Nopember 2013 M
9 Muharram 1435 H